Jujur yang Membinasakan

HPK taruh disini


“Adakah kejujuran yang buruk?”

Bila pertanyaan di atas dikedepankan kepada khalayak, mungkin secara serempak akan menggelngkan kepala. Atau membantah dengan kalimat tegas; “Tidak ada!”

Respon demikian itu bisa dimaklumi. Sebab,pemahaman umum, jujur perilaku mulia. Bahkan menjadi satu kunci keberhasilan dalam menggapai kesuksesan.

Lebih dari itu, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari, dijelaskan, bahwa jujur menjadi salah satu karakter pembeda antara orang beriman dengan orang munafik.

Jadi, bagaimana ia kemudian bisa bermetaforfosa menjadi sifat buruk?


Dalam buku ‘Untaian Nasehat Imam al-Ghozali’ jilid 2, dituangkan sebuah pertanyaan di ataskepada seorang bijak. Maka, terhadap pertanyaan itu ia menjawab; “(Jujur yang buruk itu adalah) memuji diri sendiri.”

Menarik untuk menyelami pernyataan tersebut. Tentang, mengapa hal itu bisa terjadi?

Karaktermelekat pada orang yang gemar memuji diri sendiri, akan mudah merendahkan orang lain. Karena dengan satu tarikan nafas, ia sedang memposisikan dirinya di atas, dan orang lain di bawahnya. Bahkan, bukan mustahil merasa paling hebat.

Umpama, merasa paling berkuasa, bila memiliki kekuasaan. Merasa paling kaya, bila memiliki harta benda. Merasa paling pandai, bila memiliki kepintaran. Sikap-sikap macam inilah sejatinya yang menjadi penumbuh subur kesombongan dalam diri.

Firman Allah dalam al-Qur’an; “Sekali-sekali tidak! Sungguh manusia itu benar-benar melampaui batas. Apabila melihat dirinya serba cukup.” (al-‘Alaq: 6-7)


Potensi yang lebih parah, orang yang gemar memuji diri sendiri, akan melupakan keterlibatan Allah di balik kesuksesan yang digapai. Pikirnya, bahwa segala keberhasilan yang diraih, itu tak lain berkat kehebatan diri menguasai berbagai disiplin ilmu atau pun keterampilan.

Itulah yang terjadi pada dua sosok yang Allah jadikan simbol keangkuhan umat manusia; Fir’aun dan Qarun. Sosok pertama; gemar memuji diri sendiri, karena merasa paling berkuasa di muka bumi.

Dengan segenap kekuasaan yang dipegang, Fir’aun tidak hanya memuji diri sebagai raja hebat, bahkan Tuhan pun dikerdilkan. Pendeglarasian diri sebagai tuhan yang maha tinggi, merupakan puncak pemujian yang pernah dilakukan manusia.

Penobatan diri itu pun Allah abadikan dalam al-Qur’an, sebagai pelajaran bagi manusia setelahnya. Allah berfirman; “Maka Fir’aun berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (al-Naazi’aat: 24)

Lalu bagaimana dengan Qarun? Seperti kata kid zaman now; ‘Sebela-dua belas’ dengan Fir’aun. Artinya sama. Bedanya pada instrumen yang menjadi latar pemujian diri. Kalau Fir’aun dengan kekuasaan. Maka Qarun dengan ilmu yang dikuasi.

Ia yang semulanya hidup melarat, kemudian Allah anugerahi harta yang melimpah-ruah melalui perantara ilmu/keterampilan yang dimiliki, menjadikannya sombong dan lalai. Sehingga ketika diingatkan menunaikan kewajiban yang telah ditetapkan Allah ia enggan, dan berseloroh bahwa semua kesuksesan yang dicapai, semata berkat ilmu dan kesungguhan bekerja yang dimiliki.

Allah berfirman dalam al-Qur’an; “Sesungguhnya Qarun termasuk kaum Musa, tetapi dia berlaku zhalim terhadap mereka, dan kami telang menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.  (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya; “Janganlah engkau terlalu bangga. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri.” (al-Qashash: 76)

Terhadap seruan itu, Qarun menjawab; “Dia (Qarun) berkata, “Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku..” (al-Qashah: 78)

Akhir hidup dari ‘dua tokoh’ penggemar memuji diri sendiri ini pun sangat tragis dan hina. Fir’aun ditenggelamkan di laut merah bersama pasukannya. Sedangkan Qarun ditenggelamkan ke perut bumi beserta dengan harta benda yang dimiliki.


Sikap  Selamat

 Kalau jujur dalam mengakui kebaikan pribadi itu membinasakan, maka bisa disimpulkandengan menggunakan pemahaman kebalikannya (mafhum mukhalafah), bahwa dengan bersikap jujursecara kebalikannya, mengakui kelemahan diri, itu akan membawa keselamatan.

Dan sejatinya itulah hakekat manusia. Penuh kelemahan (dho’if). Mudah melakukan kesalahan (al-khatha’). Serta akrab dengan kelalaian (al-nisyan). Karena itu ia tidak pantas sama sekali menyandang pujian. Apa lagi memuji-muji diri sendiri.

Karena itu, Allah pun mengingatkan dengan tegas, agar kaum muslimin tidak terjerembab dalam kubangan ini. Firman-Nya, “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (an-Najm: 32)

Mengomentari ayat ini, Imam al-Ghazali mengatakan; “Janganlah engkau suka memuji diri sendiri. Ketahuilah, itu akan menurunkan derajatmu di mata manusia dan mendatangkan murka Allah swt terhadapmu.”

Setali tiga uang, mengingat bahaya laten yang mengiringi puja-puji diri ini, Rasulullah saw juga berwasiat dengan tegas, melalui sabdanya;

“Jauhilah olehmu saling memuji, karena itu berarti penyembelihan.” (HR. Ibnu Majah)


Mencari jalanselamat, maka langkah ini pulalah yang ditapaki oleh orang-orang sholih/ah terdahulu. Mereka menjauhi puja-puji diri sendiri. Bahkan tidak menyenangi pujian dari orang lain. Misal, Imam Nawawi. Beliau pernah berujar; “Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku ‘muhyiddin’(orang yang menghidupkan agama).”

Ini adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan akan ketawadu’an beliau, dan kehati-hatian di balik puja-puji yang didapat. Padahal, secara kualitas keilmuan, beliau sangat luar biasa. Mampu mengarang puluhan kitab berkualitas, dalam usia masih muda. Mencerminkan keluasan dan kedalaman ilmu serta wawasan yang miliki.

Berkomentar Abul Abbas bin Faraj, “Syaikh (an-Nawawi) telah berhasil berhasil meraih tiga tingkatan yang mana satu tingkatannya saja orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas). Tingkatan kedua adalah zuhud. Dan tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf- nahi munkar.”


Sumber
close
==[ Klik disini 2X ] [ Close ]==